Kamis, 31 Oktober 2013

PARIWISATA , LADANG INDUSTRIALISASI

Pariwisata, Ladang Industrialisasi Saat Ini


ILUSTRASI
Oleh: Muthia Karima
Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed
INDONESIA adalah negara yang sangat kaya dengan potensi kebudayaan dan pariwisata. Dengan pesona alam yang begitu menakjubkan, pemerintah mulai memperhatikan pariwisata di berbagai daerah untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun lokal. Selain pariwisata, kekayaan ekosistem Indonesia pun banyak dimanfaatkan untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Seperti Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang berada di Jawa Timur, Pantai Parangtritis yang berada di Yogyakarta, Pantai Pangandaran yang berada di Jawa Barat, dari beragam daerah lainnya.
Hal ini tentunya berdampak pada meningkatnya jumlah wisawatan asing. Lihat saja di bulan Februari tahun ini, terdapat peningkatan jumlah wisatawan asing sebesar 14,5 persen ketimbang bulan yang sama di tahun lalu. Secara keseluruhan, kunjungan wisatawan asing pada bulan Januari-Februari tahun ini sebanyak 1.292.743 orang. Sedangkan pada Januari-Februari 2012 mencapai sebanyak 1.245.194 orang.
Ketertinggalan Indonesia dalam bidang perekonomian juga mendorong pemerintah menggalakkan industri pariwisata untuk mempercepat proses akseleresi pembangunan. Pemerintah menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan sekaligus objek dari proses industrialisasi untuk menggalakkan pembangunan ekonomi. Hal ini pun berlaku baik dalam tingkat nasional maupun lokal. Setiap daerah berusaha mengangkat potensi dan meningkatkan kualitas wisatanya masing–masing. Didukung pula dengan promo melalui teknologi di era modern sekarang ini, sehingga bisa lebih mudah dan cepat.
Harus diakui, pariwisata cukup berhasil mengangkat ekonomi warga. Namun kini pariwisata juga seakan menjadi virus industrialisasi yang semakin gencar menyerang hingga memiliki dampak negatif. Dalam hal pembangunan misalnya. Pembangunan yang sejatinya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat justru sebaliknya, seringkali menjadi pihak yang dirugikan sekaligus menjadi korban. Proses peminggiran sekelompok masyarakat atau komunitas pun seringkali terjadi.
Proses peminggiran masyarakat pada sektor pariwisata terjadi diawali dari pembebasan lahan. Seperti yang dikemukakan oleh George Young seorang peneliti industri pariwisata, dampak negatif yang ditimbulkan pariwisata adalah terjadinya perubahan tata guna lahan, di mana tanah yang awalnya digunakan sebagai lahan pertanian, dijadikan hotel. Lebih parah lagi, kebutuhan tanah untuk pembangunan sarana dan fasilitas-fasilitas kepariwisataan seringkali mengakibatkan terjadinya pergusuruan penduduk secara paksa dan tidak adil.
Belum lagi masalah lingkungan, akan banyak sekali kerusakan–kerusakan lingkungan yang akan terjadi baik dalam proses industrialisasi pariwisata, maupun ketika industri pariwisata tersebut sudah rampung berjalan. Sampah pun menjadi isu utama. Kita tentu masih ingat film 5 cm, dan bagaimana dampak yang ditimbulkannya. Meski bukan satu–satunya penyebab, akan tetapi pascakeluar dan booming-nya film ini, jumlah pendaki yang berkunjung ke Semeru meningkat pesat. Begitupun dengan sampah yang dihasilkan, ikut meningkat tajam pula. Ada pula Perayaan Waisak yang belum lama ini digelar, ribuan wisatawan menyerbu Candi Borobudur dan hanya meninggalkan banyak sampah ketika acara selesai.
Selain itu, sisi sosial dan kebudayaan pun akan ikut berubah pula seiring dengan industrialisasi pariwisata. Faktor banyaknya wisatawan yang berkunjung terkadang terpaksa merubah pola dan norma masyarakat sekitar. Sementara wisata dengan kearifan lokal terkadang menjadi polemik tersendiri. Apakah wisata untuk pelestarian budaya lokal ataukah komersialisasi budaya lokal. Hal ini pun akan bermasalah pada pelestarian dan regenerasi dari budaya atau kearifan lokal. Karena yang dipahami belajar dan mempraktikkan kearifan lokal sebagai cara untuk meraup keuntungan, bukan sebagai media pelestarian.
Di balik itu semua, hal yang paling utama adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduk, karena acap kali wisata yang sudah dikelola oleh pemerintah terkadang melupakan masyarakat sebagai komponen utamanya. Terutama permasalahan pengelolaan dan pendistribusian dari hasil yang diperoleh dari wisata yang ada. Entah ke mana larinya. Hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang menyentuh penduduk. Paradigma yang terbangun kemudian pun seolah semakin menepikan penduduk. Bahwa penduduk sekitar wisata cukuplah menjadi penyedia barang dan jasa bagi wisatawan untuk meningkatkan ekonomi mereka. Ironis tentunya.
Pembangunan wisata memang penting, akan tetapi yang utama dari tujuan pembangunan tersebut adalah peningkatkan kesejahteraan rakyat, menuju masyarakat yang lebih berdaya. Baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Maka, jika sebuah wisata telah melupakan esensi utamanya, hal yang terjadi adalah sebuah komersialisasi bukan pemberdayaan. (*)
Bagaimana dengan Muara Nauli, Tapanuli Utara Yang Notabene , memiliki Potensial Pariwisata yang hebat, namun terbaikan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar